Selasa, 22 Februari 2011

Perubahan Kebudayaan

Studi Brewer (1985) mengkaji perubahan kelembagaan tata guna tanah di dua desa di Bima sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Perubahan kelembagaan ini menyangkut perubahan hak penguasaan tanah dan otoritas yang mengaturnya akibat berbagai pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah baik di bidang agraria maupun sistem administrasi desa. Jadi, perubahan yang terjadi di sini lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu adanya intervensi dari negara terhadap kelembagaan lokal.
Brewer mendapati bahwa terlepas dari siapa yang berkuasa, intervensi pemerintah di daerah ini senantiasa ditujukan kepada dua sasaran: pertama, menghentikan penggarapan tanah ladang; dan kedua, menghapuskan wewenang penguasaan tanah oleh penguasa kampung (doumtua-tua atau dewan sesepuh). Yang menyedihkan adalah tak satu pun dari kedua sasaran ini yang didasarkan kepada kepentingan kaum petani yang bersangkutan, dan yang lebih parah ia juga didasarkan pada penilaian yang keliru mengenai keadaan setempat.
Sasaran pertama, misalnya, bukanlah suatu penyelesaian sama sekali selama sistem pertanian ladang berpindah tetap merupakan satu-satunya cara untuk menggarap lereng-lereng bukit yang curam dan berbatu-batu sementara sumber nafkah alternatif tidak tersedia. Namun, bukannya menangani problem ekonomi ini, pemerintah justru menerapkan kebijakan agraria yang sama sekali asing bagi masyarakat setempat, yaitu pemilikan tanah secara pribadi. Alasan dari kebijakan ini berbeda-beda, yaitu untuk memperoleh masukan pajak pada masa pemerintahan kolonial dan untuk menyingkirkan elit kepemimpinan lama yang dianggap berpaham kolot pada masa kemerdekaan.

Terlepas dari siapa yang memerintah, kebijakan semacam ini membawa dampak lanjutan selain pada perubahan kelembagaan penguasaan tanah ini. Pertama adalah runtuhnya tatanan tradisional yang mengatur penguasaan tanah yang sebelumnya dipegang oleh penguasa kampung dan dewan sesepuh. Pada masa-masa lampau, para elit tradisional inilah yang mengatur pergiliran/rotasi pemanfaatan tanah dan memutuskan kasus-kasus persengketaan tanah ketika pemilikan absolut atas tanah belum dikenal. Namun, setelah adanya pengukuran dan pendaftaran tanah, maka mereka tidak memiliki wewenang lagi selain secara moral semata, dan sebagai akibatnya, maka tidak mungkin lagi soal penguasaan tanah ini disesuaikan dengan kebutuhan kampung. Dampak yang lain adalah bahwa pengalihan tanah menjadi milik pribadi justru telah menambah gawatnya ketimpangan dalam kemakmuran, dan hilangnya tanah kampung yang jatuh ke tangan orang luar yang mempunyai sumber-sumber ekonomi yang lebih besar. Ini terutama terjadi selama masa pelaksanaan land reform di mana tanah negara dihapuskan dan ditawarkan dengan harga murah dan dengan syarat-syarat yang ringan kepada siapa saja yang telah menjadi penyewa tanah yang bersangkutan. Namun, kebanyakan dari penyewa itu ternyata penduduk dari kota yang serba kaya dan memiliki relasi politik, sehingga mudah memperoleh tanah sewaan itu. Sementara para petani penduduk setempat memperoleh bagian yang sangat kecil. Tulisan Selo Sumardjan (1993) mengulas dampak pembangunan terhadap pedesaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, pembangunan dimaksud yang meliputi: pemberantasan buta huruf, keluarga berencana, program kesejahteraan wanita, koperasi, intensifikasi pertanian yang disebut dengan Bimas, dan penyebaran informasi publik kepada warga desa atau yang disebut koran masuk desa. Bersamaan dengan pembangunan yang menggunakan determinan modernisasi, ditampakkan dengan besarnya investasi pemerintah dalam bentuk tenaga manusia dan sumber-sumber produksi. Dari hasil pengamatan Selo Sumardjan, memang pembangunan berdampak positiv terhadap rumah tangga yakni ditandai dengan naiknya tingkat ekonomi dan perbaikan fisik rumah tangga. Namun demikian, dalam pelaksanaan perencanaan serta studi tidak dilakukan secara sistematis, pembangunan telah menyebabkan transformasi sosial dan perubahan nilai-nilai budaya. Praktis setelah penguasa orde baru berkuasa sejak tahun 1967, secara sistematik dan deterministik penguasa membuat formula rencana pembangunan yang disebut Repelita, dengan satu proporsi keinginan peningkatan ekonomi secara absolute yang mendasarkan pada bentuk politik domestik dan stabilitas sosial. Melalui berbagai instrumen lembaga seperti Bapenas dan berusaha mendapatan legitimasi dari MPR waktu itu, sehingga terbentuk rumusan pembangunan yang disebut dengan GBHN. Pembangunan yang dilakukan terlampau mengikuti bentuk mekanistis, dan hanya disertai dengan tujuan peningkatan ekonomi dan kepentingan stabilitas politik, serta modernisasi di sektor pertanian dengan sebuah impian “Indonesia Take off”. Dampak modernisasi, pertama: pengubahan dari kurang lebih 500 desa yang ada, kemudian dibengkakkan menjadi kuang lebih 5000 desa. Hal ini membuat perubahan secara radikal terhadap komunitas, yang sementara ini dianut seperti desa, marga, nagari, kampung dan mukim. Kondisi tersebut telah merubah struktur yang ada, melalui digabungnya dua atau lebih desa ke dalam sebuah desa administrasi. Menyatunya desa-desa adat menjadi desa administrasi, seakan telah melepas tradisi dari masyarakat yang menganutnya. Karena dengan menyatunya desa-desa adat menjadi satu ke dalam desa admisnitrasi berarti mengabungkan satu tradisi dengan tradisi yang lain, padahal tradisi setiap tempat berbeda dengan tempat yang lain. Terdapat perbedaan antara adat lokal dalam beberapa bagian di Indonesia, ketika bermaksud menjelaskan clan, etnik dan budaya. Dimana terdapat kurang lebih 17.000 pula di Nusantara, yang memiliki karakteristik budaya lokal secara khusus dan aneka macam bahasa. Setiap komunitas desa, dan pada skala besar kelompok etnik, memiliki apa yang disebut adat, dimana berbeda dari komunitas satu dengan komunitas lain. Oleh karenanya dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan secara nasional, adat sebenarnya memiliki peran dalam mengintepretasikan budaya masyarakat yang kemudian dapat sebagai translator informasi pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme, sebuah link program untuk memahami obyektifitas pembanguanan yang modern dan sistem nilai dari adat setempat. Selanjutnya program pembangunan revolusi hijau, juga berdampak pada rusaknya mekanisme adat gotong royong pada masyarakat pedesaan. Melalui pemberian fasilitas kredit yang disiapkan oleh Bank lokal, padahal secara umum masyarakat desa kurang memahami prosedur pengambilan kredit di perbankan, dengan segala model administrasi dan bentuk agunannya. Komunitas lokal memiliki pengalaman berkoperasi, pada sisi lain yang sangat berbeda dengan model Bank secara murni. Karena aktivitas koperasi di pedesaan adalah ekspresi perilaku adat gotong royong dalam sistem sosial. Disamping itu aktivitas koperasi pedesaan merupakan institusi ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh bentuk-bentuk hubungan sosial dan bukan merupakan hubungan mencari keuntungan saja. Namun stelah masuknya program pemerintah, kelembagaan koperasi tersebut mengalami perubahan, tidak lagi merupakan institusi ekonomi masyarakat desa melainkan menjadi institusi negara. Selo Soemardjan juga mekihat dampak pembangunan merubahan cara berfikir masayarakat secara rasional dan menilai tinggi pengetqahuan dan teknologi. Masyarakat desa dicirikan oleh adanya budaya lokal dan berbagai variasi bahasa lokal, yang terintegrasi kedalam adat. Sedangkan adat berfungsi sebagai penghubung masyarakat dengan roh-roh gaib, dalam membentuk peta kognitifnya. Namun hal itu telah mengalami perubahan dengan masuknya unsur-unsur baru dalam masyarakat. Antara lain: (1) program listrik Mauk desa, keuntungan yang diperoleh warga dengan adanya listrik antara lain mereka dapat berkumpul untuk belajar pengetahuan.mereka juga dapat menikmati tontonan film dari media elektronik, (2) masuknya jaringan informasi global ke dalam desa. Media ini yangtelah mentranformasi nilai-nilai baru ke dalam desa, (3) pemberantasan buta huruf, (4) program-program kesejahteraan keluarga, (5) program keluarga berencana, (6) program Bimas, (7) koperasi desa. Sedangkan tulisan Tjondronegoro (1989) mengulas akibat yang ditimbulkan dengan adanya program Revolusi hijau. Melalui berbagai macam program yang menyertainya, seperti lembaga perkreditan, koperasi, rehabilitasi pengairan, revolusi hijau telah menyebabkan dampak tidak menguntungkan pada struktur masyarakat pedesaan. Hasil penelitian yang dilakukan SAEI, bahwa revolusi hijau telah merubah menambah lapisan-lapisan petani menjadi banyak. Disebutkan bahwa petani kaya lebih mampu merespon program tersebut, yang kemudian ditransformasikan kedalam peningkatan taraf hidupnya. Berbeda dengan petani kecil, mereka kurang atau tidak merespon program tersebut akibatnya mereka semakin tertinggal dalam hitungan peningkatan taraf hidup. Meningkatnya taraf kehidupan petani kaya, semakin mereka memiliki peluang yang besar untuk memperbesar produksinya dengan jalan sewa tanah dari mereka yang kurang modal, pada tahap ini telah terjadi akumulasi tanah atau akumulasi penguasaan tanah. Artinya revolusi hijau telah berdampak pada meningkatnya petani miskin dan tak bertanah serta bermodal. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadi pertentangan kelas, yang diakibatkan oleh jarak sosial yang terlalu jauh, dan itu sebagai pemicu konflik atas perbedaan penguasaan sumberdaya. Dengan kemampuan modal yang dimilikinya, petani kaya juga menarik kredit lebih banyak, serta memanfaatkan tenaga kerja yang cukup. Disamping itu para petani yang semakin kayaini, mulai meningkatkan akses penjualan ke kota-kota, sehingga memungkinkan mnjangkau jenis-jenis pekerjaan lain. Pada sisi lain, petani miskin jika tidak mampu bertahan dengan kehidupan di desa mereka akan melakukan urbanisasi ke tempat lain. Hal yang tidak kalah pentingnya dengan program revolusi hijau adalah terjadi pergeseran pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non farm, dan itu merupakan awal kegagalan pembangunan pertanian. Tidak hanya berhenti disitu, dampak revolusi hijau melunturkan ikatan patron klien yang terbentuk, patron dan klien. Bentuk hubungan condong pada arah eksploitasi yaitu antara buruh dan majikan. Selanjutnya Tjondronegoro (1999) juga mendeteksi dampak revolusi hijau, mengubah kelembagaan kerja seperti sistim sakap yang dahulu merupakan bentuk hubungan kerja sama yang umum, sekarang sudah berganti menjadi sistim sewa. Masuknya komersialisasi juga memaksa masuk pula pedagang-pedagang tengkulak kedesa-desa. Kemudian lembaga panen juga mengalami perubahan, misalnya upah panen yang umumnya 1/10 dari panen digantikan dengan ongkos panen mengikuti standar harga tenaga kerja. Namun demikian peningkatan produksi pertanian, khususnya padi tidak diimbangi dengan kemampuan fungsi lembaga koperasi (KUD) sebagai tempat menampung dan membeli hasil panen. Hal ini turut mempengaruhi ketertarikan lapisan petani terhadap lembaga tersebut. Seperti dijelaskan oleh Tjondronegoro, bahwa lapisan menengah memiliki fungsi keterikatan dengan koperasi, serta memungkinkan golongan tersebut dalam suasana deregulasi dan debirokratisasi memiliki posisi yang semakin mapan. Selanjutnya munculnya elit-elit desa, secara khsusus pemimpin desa yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah, semakin memperkuat posisinya. Teknologi, Ideologi dan Nilai-nilai dalam Perubahan kebudayaan Perubahan kebudayaan merupakan perubahan yang teridentifikasi secara kualitatif, hal ini menyangkut perubahan-perubahan dari bagian-bagian kebudayaan yang sebelumnya tidak tersepesialisasi menjadi kebudayaan yang berfungsi atas dasar bagian-bagian yang khusus. Artinya perubahan dari suatu tatanan masyarakat tertentu, kemudian ke bentuk masyarakat yang lebih dinamis. Teknologi merupakan lapisan terendah dari kebudayaan. Teknologi dalam perkembangannya membentuk sistem sosial, selanjutnya sistem sosial yang terbentuk menjadi dasar ideologi manusia yang ada di dalamnya. Oleh karenanya perubahan teknologi merupakan juga perubahan kebudayaan, yang bersifat berkelanjutan karena sifat kebudayaan memungkinkannya dapat dengan mudah diteruskan dari seorang individu ke individu lain dan dari generasi ke generasi lain. Mencermati tulisan Brewer, penyebab perubahan adalah intervensi dari negara terhadap kelembagaan lokal. Ideologi pemicu perubahan yang berasal dari pemerintah berusaha mengoyak kepemimpinan lokal yang telah lama berfungsi menyelesaikan konflik atas perebutan tanah. Nampak disini intervensi pemerintah telah merubah kebudayaan dari aspek perubahan hukum dan struktur kekuasaan pada tingkat komunitas desa, yakni yang berkaitan dengan hukum adat. Peran sesepuh sebagai penentu kebijakan ditngkat desa digantikan oleh peran pemerintah dalam menyelasaikan sengketa tanah. Perubahan juga terjadi dalam lapisan-lapisan masyarakat yang terkait dengan lahan, dengan diterapkannya UUPA 1960. justru dengan adanya UUPA membentuk penguasa secara besar-besaran atas tanah oleh pemilik modal. Sedangkan Tjondronegoro melihat perubahan kebudayaan dari pelaksanaan program revolusi hijau, program tersebut pada satu sisi meningkatkan hasil panen persatuan luas tertentu. Namun demikian pada sisi yanglain berdampak pada terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari program ini tidak dapat secara merata dirasakan oleh masyarakat tani, sebagai produsen. Karena hanya pada golongan petani-petani kaya saja yang dapat merasakan dampak revolusi hijau. Dengan kemampuan modal yang dimilikinya, petani kaya juga menarik kredit lebih banyak, serta memanfaatkan tenaga kerja yang cukup. Disamping itu para petani yang semakin kayaini, mulai meningkatkan akses penjualan ke kota-kota, sehingga memungkinkan mnjangkau jenis-jenis pekerjaan lain. Pada sisi lain, petani miskin jika tidak mampu bertahan dengan kehidupan di desa mereka akan melakukan urbanisasi ke tempat lain. Hal yang tidak kalah pentingnya dengan program revolusi hijau adalah terjadi pergeseran pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non farm, dan itu merupakan awal kegagalan pembangunan pertanian. Tidak hanya berhenti disitu, dampak revolusi hijau melunturkan ikatan patron klien yang terbentuk, patron dan klien. Bentuk hubungan condong pada arah eksploitasi yaitu antara buruh dan majikan. Hal senada juga dikemukakan Soemardjan, terjadinya perubahan kebudayaan sejalan dengan proses modernisasi. Modernisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah berfungsi sebagai pemicu perubahan kebudayaan yang dirikan oleh pudarnya adat masyarakat. Adat yang sementara ini dianut oleh masyarakat telah digantikan olehpola hidup baru dengan sistem nilai yang baru pula. Perubahan pada struktur nilai masyarakat menyebabkan berubahnya struktur masyarakat, oleh karenanya kondisi ini meunjukkan adanya perubahan sosial. Jika diperbandingkan pengertian kebudayaan dari berbagai aspek, secara eksplisit memang perubahan kebudayaan tidak secara langsung dapat dikatakan merupakan perubahan sosial. Namun seperti dijelaskan pada awal bab II tulisan ini, bahwa teknologi merupakan bagian terendah dari sebuah kebudayaan, sehingga perubahan pada tingkat teknologi pada hekekatnya adalah merupakan perubahan sosial yang ditunjukkan dengan berubahnya struktur masyarakat. Teknologi dapat menggeser adat (gotong royong) yang telah dianut oleh masyarakat menjadisistim upah, inilah indikasi awal mengapa terdapat keterkaitan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan sosial. Persamaan perubahan yang nampak adalah bahwa adanya nilai-nilai baru seperti yang ditulis Brewer, kemudian penggunaan teknologi pada revolusi hijau serta modernisasi pada akhirnya menggeser nilai-nilai lama yakni apa yang disebut adat, dan mengalami pergeseran makna dan nilai. Sedangkan perbedaan terjadi,berkaitan dengan pola perubahan serta pemicu perubahan. KerangkaTeoritis Perubahan kebudayaan mencakup perubahan berbagai aspek: hukum dan struktur pemerintahan, melemahnya kedudukan sesepuh dalam adat, kemudian melemahnya adat. Kesemuanya itu berhubungan dengan adanya nilai-nilai baru atau sistem baru yang dianut oleh komunitas masyarakat, terlepas unsur pemerintah atau penguasa yang melakukannya. Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, nampkanya juga dapat disebabkan oleh pengaruh teknologi seperti yang dikemukakan Soemardjan. Oleh karena itu perubahan kebudayaan terkait dengan aspek-aspek pendorong perubahan sosial, karena kebudayaan mengandung nilai-nilai yang dapat berfungsi sebagai penghambat atau pendorong perubahan.

2 komentar:

Setitik Ilmu mengatakan...

Mengapa terjadi Perubahan Kebudayaan di Masyarakat Kita ?

Unknown mengatakan...

waduh dek jgn terlalu panjang artikelx, perlu d skat tuwh... biar gak ribet bacanya