Kamis, 28 Juni 2012

PROSES-PROSES PERUBAHAN SOSIAL: PERUBAHAN STRATIFIKASI DAN STRUKTUR MASYARAKAT



PROSES-PROSES PERUBAHAN SOSIAL:

PERUBAHAN STRATIFIKASI DAN STRUKTUR MASYARAKAT

Suhirmanto, A555010081
Perubahan stratifikasi dan struktur masyarakat ditelaah dari tiga bacaan
Tulisan Sosrodihardjo (1972) membicarakan perubahan struktur masyarakat dalam kaitannya dengan dinamika pembentukan kelas-kelas pemasaran pribumi di Jawa. Asumsinya adalah bahwa gejala perebutan pemasaran antar berbagai golongan dalam masyarakat menandai terjadinya perombakan dalam struktur masyarakat bersangkutan. Dari sini, kemudian diajukan suatu tesis bahwa perubahan dalam struktur pemasaran akan menimbulkan perubahan dalam struktur masyarakat secara keseluruhan.
Selanjutnya dinyatakan bahwa perubahan struktur pemasaran itu sendiri (yang membawa pada perubahan struktur masyarakatnya) dalam sejarah masyarakat Jawa berlangsung terutama dalam masa-masa kekacauan, dalam hal ini terutama menyertai pergolakan-pergolakan peperangan. Selama masa ketidakpastian ini terjadi kondisi ketidakmenentuan yang mengakibatkan adanya perasaan terombang-ambing antara harapan dan kecemasan. Ikatan tradisi mulai retak dan orang makin terdorong kepada keinginan untuk mencoba nilai-nilai baru dan menguji sampai seberapa jauh ia dapat memaksakan hasrat pribadinya dalam situasi yang serba tidak pasti ini. Menurut Sosrodihardjo, jika di dalam suatu masyarakat telah timbul harga diri dan tuntutan penghargaan yang lebih tinggi semacam ini, maka hal itu menandakan bahwa sudah mulai ada perubahan dalam struktur masyarakat, yakni perubahan dalam sistem-sistem status dan kedudukan. Jika tuntutan atas penghargaan ini disertai dengan kekuatan dan kekuasaan, maka nyatalah bahwa di sini terdapat kelas baru yang sedang muncul dan ingin memperluas cengkeraman pengaruhnya.

Sosrodihardjo menjelaskan perubahan struktur masyarakat Jawa dalam pengertian seperti yang disebutkan di atas dalam berbagai babakan periode. Pada masa pra-kolonial, tepatnya pada jaman kerajaan Majapahit, pemasaran komoditas pasar yang penting dikuasai oleh negara, meskipun secara tidak langsung. Pelabuhan-pelabuhan penting yang ramai dengan perdagangan di-kuasai oleh kerajaan, seperti pelabuhan-pelabuhan di Tuban, Gresik, dan di Surabaya. Hal ini terus berlangsung sampai Majapahit mengalami kemunduran ketika pemasaran dikuasai secara langsung oleh para bupati di daerah dengan tidak menghiraukan lagi kekuasaan Majapahit. Hal ini mengantarkan pada terbentuknya kelas pemasaran baru, yang dikuasai oleh raja-raja Islam. Kedatangan VOC telah menghapus seluruh kelas pemasaran di Jawa dan pengusaha-pengusaha Belanda sekarang menguasai pemasaran sepenuhnya. Sedangkan pemasaran perantara diserahkan kepada “orang-orang timur asing”, yang sebagian besar dikuasai oleh bangsa Tionghoa. Di daerah-daerah di mana kekuasaan Belanda belum intensif, khususnya di daerah kekuasaan raja-raja Jawa, terdapat sisa-sisa kelas pemasaran Jawa. Mereka ini sudah tidak berdaya lagi tapi kelak akan muncul lagi pada saat struktur kekuasaan kolonial mulai menyediakan peluang. Hal ini tepatnya terjadi pada awal abad XX dengan munculnya organisasi Boedi Oetomo sebagai gerakan yang dipimpin oleh sisa-sisa kelas pemasaran kerajaan yang ingin menguasai kem-bali sebagian dari struktur pemasaran. Tetapi organisasi ini basis massanya lemah karena membatasi diri pada suku Jawa, terlebih lagi anggotanya hanya terdiri dari kaum cerdik pandai, yaitu para pegawai negeri dan kalangan bang-sawan. Maka bisa dimengerti jika gerakan ini segera diungguli oleh Sarikat Dagang Islam (kemudian menjadi SI) yang kendati sama-sama muncul dari lingkungan keraton (Laweyan, Solo), namun pengaruhnya dapat berkembang ke desa-desa dan menjangkau massa banyak. Hal ini karena gerakan yang terakhir memberikan tantangan langsung kepada kekuasaan kolonial (kelas pemasaran tertinggi) dan golongan Tionghoa (kelas pemasaran menengah/perantara) yang kegiatan-kegiatannya telah menyengsarakan rakyat banyak. Ketika zaman malaise terjadi, pemerintah kolonial dipaksa mencari sumber-sumber dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri. Maka keluarlah ordonansi tahun 1939 tentang Maskapai Andil Indonesia yang memberi angin bagi terbentuknya kelas pemasaran pribumi. Muncullah para pengusaha pribumi khususnya yang bergerak di bidang tekstil, rokok kretek, dan pemasaran beras. Hal ini berakhir ketika Jepang masuk. Pada masa ini marak praktek pencatutan sehingga praktis tidak ada kelas pemasaran baru. Meski demikian, dengan langkanya bahan pangan, maka di desa-desa timbul usaha-usaha untuk menguasai pemasaran beras terutama melalui pasaran gelap dan dilakukan khususnya oleh para petani kaya dan para aparat desa. Sementara itu, kalangan Tionghoa yang menguasai pemasaran perantara kini mendapat tekanan yang berat dan tidak lagi memperoleh perlindungan seperti pada era pemerintahan sebelumnya. Pada era kemerdekaan, para petani pemilik tanah yang makin terbuka pada kontak intens dengan kota dan pada mobilitas horisontal, terus berusaha menguasai pemasaran beras yang menyebabkan terjadinya komersialisasi pertanian. Akibatnya, para buruh tani makin terjepit dan kecenderungan stratifikasi di pedesaan dirasakan menajam. Petani-petani kaya mulai kritis terhadap kewajiban-kewajiban sosial yang dianggap merugikan mereka; hal mana mendorong mereka berpaling pada model-model agama yang membebaskan dari kewajiban-kewajiban sosial tadi (dalam hal ini gerakan-gerakan reformasi agama). Sementara buruh tani yang terdesak dan tidak memiliki kesempatan menguasai pemasaran memilih berpaling pada praktek-praktek mistik. Dalam pada itu, mobilitas vertikal dari kelas pemasaran pribumi petani ini mendapat tantangan dari kelas pemasaran lama, yakni golongan Tionghoa. Mereka ini melakukan infiltrasi lewat berbagai jalur (partai, agama), dan akhirnya, setelah bergandengan dengan militer pasca geger 65, golongan Tionghoa ini menjadi kelas pemasaran tertinggi. Hal ini terus berlangsung hingga sekarang. Sedangkan, Wertheim (1999) mengulas tentang perubahan struktur masyarakat di kawasan Asiatik, khususnya di India. Perubahan yang dimaksud adalah berubahnya struktur masyarakat dari kondisi yang relatif tetap (meskipun mengalami perubahan dinasti yang tak pernah berhenti) kemudian mengalami pergeseran dengan terbentuknya kelas-kelas baru di tingkat suprastruktur negara-negara Asia sebagai dampak dari kapitalisme. Terdapat empat tahap perkembangan yang terjadi di kawasan Asia. Pertama; dalam bidang ekonomi, dampak kapitalisme dapat dirasakan dalam berbagai hal, bergantung pada keeratan keterlibatan hubungan politik antara negara yang menguasahi dengan masyarakat yang dikuasahi. Masyarakat India adalah yang pertama kali menderita akibat kapitalisme Barat. Melalui perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Inggris terhadap industri di Inggris mengakibatkan matinya industri takstil tradisional di India, karena kekuatan kolonial Inggris melimpahkan produk-produk Inggris untuk masyarakat India. Dan diikuti oleh negara-negara lain di wilayah Asia, seperti Birma. Kapitalisme berdampak pada masuknya ekonomi uang ke negara-negara Asia Selatan dan Tenggara. Dalam keadaan demikian para petani tidak dapat bertahan dari produksi esklusif subsistensinya, mereka juga harus mencari pendapatan tambahan, sehingga mereka terlibat pada mekanisme pasar secara murni yang bergantung pada fluktuasi harga, yakni pertama, mereka harus menanam tanaman yang berorientasi pasar, kedua mereka harus bekerja pada perkebunan-perkebunan tanaman komersial. Akibatnya terdapat sebagian masyarakat petani, karena memiliki kemampuan adaptif dalam sistim yang baru sehingga mencapai kemakmuran tertentu dengan demikian mengancam hak istimewa kelompok penguasa dan kelompok elit. Kemudian terdapat pula sejumlah petani, yang karena tidak memiliki kemampuan adaptif dalam sistem yang baru maka mereka menjadi proletar. Kedua; pada tahap berikutnya, perubahan yang paling nampak di negara-negara koloni menurut Wertheim adalah golongan putih yang menempatkan diri mereka di atas sistem status penduduk asli dan sebagai lapisan atas baru yang mirip kasta. Dalam sistem demikian golongan putih memisahkan secara sosial dengan penduduk pribumi dalam bentuk superior dan inferior di berbagai aspek, yaitu ekonomi dan politik. Ketiga; selanjutnya Wertheim mengungkap munculnya Borjuis Asia merupakan dampak kapitalisme di negara-negara kolonial. Hal ini sebagai pengaruh dari masyarakat Eropa Barat yang terdiri atas pedagang, industrialis, dan yang menjalankan profesi liberal. Mekanisme pembentukan borjuis Asia dapat ditilik dari: pertama: para usahawan golongan Timur yang berpikiran kapitalis, melalui perjuangan dalam lingkungan enterpreuneur Barat untuk memperoleh kekuasaan memperluas perdagangan dan industri. Kedua, salah satu fungsi penting untuk menjalankan perusahaan besar, tekstur sosial kapitalisme memerlukan personil yang berpendidikan, pendidikan diperlukan untuk membentuk “kelas menengah yang tergantung” yang tidak sama dengan pekerja kerah putih Barat. Pada tahap berikutnya pendidikan yang diberikan oleh Barat, justru berfungsi sebagai bom waktu bagi sistim status kolonial. Karena dengan pendidikan, membentuk kesadaran individual sebagai bangsa yang sedang dibawah kekuasaan kolonial, dan merupakan pembatas kemajuan bagi bangsa mereka. Melalui kesadaran nasionalisme dan di bawah panji-panji ideologi yang sama kaum borjuis Timur melakukan perlawanan secara kolektif terhadap kekuatan kolonial asing. Meskipun nasionalisme merupakan gerakan idealistik, namun bukan merupakan satu-satunya pemicu gerakan tanpa memperhatikan basis material penggeraknya. Kemiskinan dan ketertekanan, masuknya budaya luar, media informasi, dan kontak dengan budaya luar merupakan basis material gerakan politik dibawah bimbingan kaum borjuis yang mentranformasi gerakan terhadap “kerinduan akan surga imajiner yang hilang” menuju pada kehidupan yang lebih baik. Gerakan-gerakan semacam ini sangat efektif untuk melawan kekuasaan manapun yang dianggap sebagai asing, serta mempunyai karakter perjuangan kelas melawan entepreuneur asing seperti di Filipina, Siam, Burma, dan Chosin-Cina, yang melawan kelas menengah asing. Tahap keempat; ditandai pembalikan fakta tindakan, yaitu trend dari tindakan individualistik menuju tindakan kolektif. Munculnya borjuis Timur yang bergerak dalam berbagai bidang usaha perdagangan dan industri, dalam pergerakan usahanya tidak bisa lepas dari model persaingan di antara mereka sendiri. Hal itu terlambat disadari oleh golongan mereka sendiri, bahwa persaingan pada akhirnya menuju pada suatu model usaha yang monopolistik, dan pada waktu yang sama mereka akan terancam oleh munculnya proletariat Timur yang dengan sendirinya membangunkan kesadaran kelas melalui slogan-slogan nasionalisme. Ditengah-tengah ritme persaingan antar borjuis dalam usahanya, pada saat itu anggota kelas mencari dukungan yang didasarkan pada basis kelompok maupun basis kekeluargaan. Sehingga apabila, kegiatan usaha di sektor industri dan perdagangan yang dicirikan dengan model persaingan antar individu tersebut melemah maka, persaingan bukan lagi merupakan persaingan individu melainkan merupakan persaingan antar kelompok. Dengan demikian kelompok berfungsi sebagai akomodasi aspirasi sosial dari individu-individu dalam sifat-sifat yang distinktif . Solidaritas kelompok tersebut tidak hanya melanda pada golongan borjusi saja melainkan, tekanan kemiskinan dan kesengsaraan yang dirasakan oleh golongan proletariat, kemudian golongan pekerja yang telah mulai kehilangan ikatan kekerabatan dan tradisi membentuk ikatan-ikatan baru menjadi serikat pekerja, kemudian munculnya kelompok genealogis yang merasa terisolasi dari komunitas desa dsb. Terbentuknya ikatan-ikatan baru yang didasarkan pada basis kemiskinan, kesengasaraan, penindasan, kepartaian, serta agama merupakan pemicu perubahan pada sektor kelompok yang berpengaruh pada struktur dan stratifikasi. Selanjutnya, Sarman (1994) menjelaskan perubahan struktur masyarakat dalam pengertian perubahan perilaku okupasi mereka sebagai petani plasma dalam perkebunan karet. Perubahan ini dijelaskan sebagai akibat dari diperolehnya status pemilikan dan penguasaan lahan menjadi hak milik pribadi. Sarman menjumpai bahwa diperolehnya hak milik tanah secara pribadi ini ternyata menimpulkan akibat yang berbeda dalam perilaku okupasi para petani antara mereka yang berasal dari etnis Banjar dan dari etnis Jawa. Pada kelompok pertama ada kecenderungan untuk melakukan eksploitasi secara berlebihan yang dalam jangka panjang justru merugikan mereka karena akan memperpendek usia produktif pohon karet. Selain itu, kelompok ini juga cenderung berperilaku konsumtif yang akhirnya akan mendorong mereka untuk melakukan eksploitasi lebih banyak guna memperoleh untuk keuntungan dalam waktu singkat. Sementara pada kelompok kedua sebaliknya sangat berhati-hati dalam melakukan eksploitasi dan keuntungannya lebih banyak di-investasikan untuk pendidikan anak. Karangka Teoritis Tentang Perubahan Struktur Sosrodihardjo menjelaskan proses perubahan struktur masyarakat sebagai akibat dari terjadinya pergeseran kelas pemasaran dari masyarakat itu. Perubahan dalam struktur pemasaran akan menimbulkan perubahan dalam struktur masyarakat secara keseluruhan, namun kondisi tersebut bergantung pada fakta circumstancial. Sedangkan Wertheim, menjelaskan perubahan struktur yang ditandai dengan pengaruh kapitalisme yang mengakibatkan pemiskinan, selanjutnya penempatan nilai-nilai baru di atas sitem masyarakat asli, kemudian tahapan munculnya borjuis lokal, yang dikaitkan dengan faktor pendidikan dan idealisme golongan lokal terhadap pemikiran Barat dan kemudian tindakan kolektif yang berbasis solidaritas kelompok. Kesemua itu merupakan tahapan perkembangan perubahan struktur pada masyarakat. Akhirnya, Sarman menjelaskan perbedaan pola akupasi antara dua kelompok etnis dalam menanggapi status sosial dan ekonomi mereka setelah memiliki lahan pribadi dengan melacaknya pada perbedaan rasionalitas dan etos kerja mereka yang berakar dari dua orientasi kebudayaan yang berbeda. Selanjutnya jika dikaji dari perspektif pemicu perubahan, ketiga studi ini ada yang menekankan pada kondisi-kondisi circumstantial (khususnya Sosrodihardjo menyebut dengan masa-masa kekacauan yang disertai dengan pergolakan), kemudian, Wertheim cenderung proses prubahan struktur melalui tahapan-tahapan dan disertai proses-proses yang dipicu dari faktor solidaritas dari sebuah ideologi, yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial, dan ada pula (yakni yang terakhir) yang cenderung menempatkan faktor identitas budaya sebagai faktor yang menentukan terjadinya perubahan tersebut. Dengan demikian perubahan sosial, jika dilihat secara holistik perlu mempertimbangkan proses perubahan yang bersumber dari sosio-genetiknya, kemudian mempertimbangkan faktor basis material dan ideal sebagai pemicunya. Daftar Bacaan Wertheim, W.F. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Kajian Perubahan Sosial. Penerbit PT. Tiara Wacana Yogya. Tahun 1999. Sarman, Muhtar. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma, No. 7 Tahun 1994. Pp 69-88. Sosrodihardjo, Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa. Suatu Analisa. Yogyakarta: Karya. Tahun 1972. pp 11-106.

Tidak ada komentar: